Pak Ustadz, saya mendengar dari temen saya yang mengaji di salah satu kelompok pengajian yang mengatakan, menurut kelompok tersebut daging anjing halal untuk dimakan. Alasan yang dikemukakan adalah yang diharamkan menurut Al-Quran hanyalah daging babi, darah dan sembelihan yang tidak atas nama Allah. Kemudian saya menyanggahnya dengan mengatakan di hadis shahih daging tersebut haram. Namun temen saya berbalik bertanya ke saya, mana yang lebih kuat Al-Quran apa Hadis? Kalau ada hadis yang tidak sesuai dengan Al-Quran maka harus merujuk ke Al-Quran. Demikian juga daging lainnya seperti katak dan binatang buas juga halal.
Saya jadi bingung, mohon dijelaskan karena kelompok tersebut di tempat saya cukup besar baik secara organisasi maupun keanggotaan.
Amara Tifani
Jawaban: Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Sebelum menjawab pertanyaan anda, perlu ditegaskan bahwa ada dua hal yang terikait hewan. Pertama, masalah kenajisannya. Kedua, masalah kehalalannya untuk dimakan. Penjelasannya, bahwa semua hewan yang ditetapkan kenajisannya, maka otomatis haram dimakan. Sebab semua barang najis itu memang tidak boleh dimakan. Bahkan jangankan dimakan, disentuhpun membatalkan wudhu. Namun tidak semua yang disebutkan haram dimakan itu pasti najis. Racun itu haram dimakan, tetapi racun tidak najis.
Bahwa ada pendapat yang tidak menajiskan anjing, kita akui memang ada. Di antaranya adalah kalangan mazhab Malik yang dipelopori oleh pendirinya, al-Imam Malik rahimahullah. Kemungkinan kelompok yang Anda sebutkan itu mengacu -secara disadari atau tidak- kepada apa yang disimpulkan oleh mazhab Malik sejak 1.400-an tahun yang lalu. Pendapat itu bukan ijtihad kemarin sore. Khusus dalam masalah kenajisan dan kehalalan hewan, mazhab ini boleh dibilang paling eksentrik. Sebab selain tidak menajiskan anjing, mereka pun tidak menajiskan babi. Tentu saja mereka punya segudang dalil dari Al-Quran dan As-sunnah yang rasanya sulit kita nafikan begitu saja. Meski kita tetap berhak untuk tidak sepakat.
Maksudnya, pendapat itu bukan mengada-ada atau asal-asalan. Tetapi lahir dari hasil ijtihad panjang para ulama sekaliber Imam Malik. Asal tahu saja, Imam Malik itu adalah guru Imam As-Syafi’i. Beliau adalah imam ulama Madinah, kota yang dahulu Rasulullah SAW pernah tinggal beserta dengan para shahabatnya. Akan tetapi memang demikian dunia ilmu fiqih, meski pernah belajar kepada Imam Malik, namun Imam Asy-Syafi’i tidak merasa harus mengekor kepada semua pendapat gurunya itu. Dan kapasitas beliau sendiri memang sangat layak untuk berijtihad secara mutlak, sebagaimana sang guru. Dan hal itu diakui sendiri oleh sang guru, bahkan sang gurujustru sangat bangga punya anak didik yang bisa menjadi mujtahid mutlak serta mendirikan mazhab sendiri. Di mana tidak semua pendapat gurunya itu ditelan mentah-mentah.
Mazhab As-Syafi’i sendiri justru 180 derajat berbeda pandangan dalam masalah anjing dan babi. Buat mereka, anjing dan juga babi adalah hewan yang haram dimakan, sekaligus najis berat . Yang najis bukan hanya moncongnya saja sebagaimana bunyi teks hadits, melainkan semua bagian tubuhnya.
Dalilnya adalah hadits berikut ini:
Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali. .
. متفق عليه, ولأحمد ومسلم: }.
Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali salah satunya dengan tanah.
Dalam pandangan mazhab ini, meski hadits Rasulullah SAW hanya menyebutkan najisnya wadah air bila diminum anjing, namun kesimpulannya menjadi panjang.
Logika mereka demikian, kalau hadits menyebutkan bahwa wadah menjadi najis lantaran anjing meminum airnya, berarti karena air itu tercampur dengan air liur anjing. Maka buat mereka, najis dihasilkan oleh air liurnya. Jadi air liur anjing itu najis. Sementara air liur itu sendiri dihasilkan dari dalam perut anjing. Berarti isi perut anjing itu juga najis. Dan secara nalar, apapun yang keluar dari dalam perut atau tubuh anjing itu najis. Seperti air kencing, kotoran bahkan termasuk keringatnya.
Nalar seperti ini kalau dipikir-pikir benar juga. Sebab kalau air yang tadinya suci lalu diminum anjing bisa menjadi najis karena terkena air liur anjing, tidak logis kalau justru sumber najisnya malah dikatakan tidak najis. Betul, kan?
Jadi meski hadits itu tidak mengatakan bahwa tubuh anjing itu najis, tetapi logika dan nalar mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa tubuh anjing itu seharusnya sumber kenajisan. Adapun sanggahan teman Anda bahwa hadits ini bertentangan dengan ayat Al-Quran, sebenarnya tidak demikian keadaannya. Hadits tentang najisnya anjing tidak bertentangan dengan satu pun ayat di dalam Al-Quran. Sebab tidak satupun ayat Al-Quran yang menyebutkan bahwa anjing itu tidak najis. Silahkan telusuri dari surat Al-Fatihah hingga surat An-Naas, tidak akan Anda temukan satu pun ayat yang bunyinya bahwa anjing itu tidak najis.
Jadi hadits dan ayat Quran tidak bertentangan, sehingga tidak perlu meninggalkan hadits najisnya anjing. Bahkan Imam Malik sendiri pun tidak pernah menafikan hadits tentang najisnya air yang diminum anjing itu.
Hanya bedanya antara pendapat beliau dengan pendapat As-Syafi’yah adalah bahwa yang najis itu adalah air yang diminum anjing. Adapun anjingnya sendiiri tidak najis,sebab hadits itu secara zahir tidak mengatakan bahwa anjing itu najis. Dan memang hadits itu sama sekali tidak menyebut bahwa anjing itu najis, yang secara tegas disebut najis adalah wadah air yang diminum anjing. Logika Imam Malik inilah yang dikritisi oleh Asy-syafiiyah, yaitu mana mungkin airnya jadi najis kalau sumbernya tidak najis. Itu saja.
Kesimpulan.Baik pendapat yang menajiskan atau yang tidak, keduanya lahir dari sebuah proses ijtihad para begawan syariah kelas dunia. Kita boleh memilih mana yang menurut kita lebih masuk akal atau yang lebih membuat kita tenteram. Tanpa harus menyalahkan atau mencaci maki saudara kita yang kebetulan tidak sama pilihannya dengan pilihan kita.
Biarlah perbedaan pendapat ini menghiasi khazanah syariah Islam. Siapa tahu di balik perbedaan pendapat ini Allah SWT memang berkenan memberikan hikmah yang tidak kita duga sebelumnya. Sangat picik bila perbedaan pendapat ini malah disikapi dengan cara kekanak-kanakan, seperti saling menyakiti, saling cela, saling hina, saling tuduh. Sungguh dahulu kedua imam besar itu bermesraan dan saling menghormati, bahkan saling menyanjung. Lalu mengapa kita yang tidak ada seujung kuku mereka, malah merasa diri paling benar sendiri sambil menuding orang lain salah semua?
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber Daging Anjing Tidak Haram, Benarkah? : http://www.salaf.web.id
Daging Anjing Halal?
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Seiring dengan tingkat kemajuan dan meningkatnya kebutuhan manusia terhadap segala sesuatu, maka banyak pula usaha yang dilakukan oleh manusia untuk menggali segala yang diciptakan Allah k melalui penelitian, pengkajian, dan lain-lain, sehingga hasilnya nanti dapat membantu manusia memecahkan persoalan hidup yang terus berkembang dalam segala aspek kehidupan.
Di antara berbagai macam persoalan yang seringkali di hadapi manusia adalah persoalan kesehatan, makanan dan keuangan serta kesenangan. Secara alami, manusia selalu mencari cara agar dapat bertahan guna memenuhi kebutuhan tersebut, baik dengan memanfaatkan sumber alam maupun hewan. Namun, persoalannya adalah sejauh mana cara yang dilakukan manusia tersebut agar berguna dan bermanfaat bagi dirinya, tanpa harus melakukan dan mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan syariat.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksnya persoalan hidup, akhirnya manusia berhadapan dengan jalan, dimana mereka harus menentukan pilihan hidup. Kemudian, manusia dituntut untuk mengambil sikap, jalan mana yang harus ditempuh. Hal ini semakin kompleks dengan jauhnya mereka dari tuntunan ajaran Islam yang suci, sehingga mereka mengambil kesenangan dan makanan tanpa melihat lagi kehalalan dan keharamannya.
Kehidupan manusia tidak lepas dari lingkungan sekelilingnya, baik berupa hewan maupun yang lainnya. Di antara hewan yang sering berada di sekitar manusia adalah anjing. Dewasa ini banyak orang memelihara anjing untuk dikonsumsi dan dijadikan sarana hiburan penyenang hati. Melihat ini semua perlu sedikit dijelaskan permasalahan anjing melalui perspektif syariat.
MEMELIHARA ANJING
Saat ini, begitu seringnya kita menyaksikan dan mendengar orang yang memelihara anjing. Bahkan sebagian orang memperlakukannya dengan istimewa melebihi manusia, tidur bersamanya dan diberi makanan melebihi makanan manusia. Padahal, memelihara anjing tanpa satu kebutuhaan, seperti untuk menjaga rumah, kebun, hewan ternak dan berburu tidak diperbolehkan. Hal ini dijelaskan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
مَنِ اقْتَنَى كَمبًا إِلاَّ كَلْبَ مَا شِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمِ قِيْرَاطُ
Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qirâth (satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).” [1]
‘Abdullâh mengatakan bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “Atau anjing untuk menjaga tanaman.”
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَيُّمَا أَهلِ دَارٍ اتَّخَذُواكَلْبُا إِلاَّ كَلْب مَا شِيَةٍ أَوْ كَلبَ صَا ئِدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِمْ كُلَّ يَوْمٍ قِيْرَاطَانِ
Penghuni rumah mana saja yang memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth.[2]
Demikian juga Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا فَإِنَّهُ يَنْقُصُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيْرَاطُ إِلاَّ كَلْبَ حَرْثٍ اَوْ مَا شِيَةٍ
Barangsiapa memelihara anjing, maka amalan shalehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu qirâth, selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak. [3]
Ibnu Sîrîn rahimahullah dan Abu Shâleh rahimahullah mengatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.
إِلاَّ كَلْبَ غَنَمٍ أَوْ حَرْثٍ أَوْ صَيْدٍ
Selain anjing untuk menjaga hewan ternak, menjaga tanaman atau untuk berburu
Abu Hâzim rahimahullah mengatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَا شِيَةٍ
Selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga hewan ternak.” [HR. al-Bukhâri]
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنِ اقْتَنَى كَمبًا إِلاَّ كَلْبَ مَا شِيَةٍ أَوْ ضَارِى نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْم قِيْرَاطَانِ ٍ
Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau pemburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth (satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).” [HR. Muslim 2940]
Iman An-Nawâwi rahimahullah memandang haramnya memelihara anjing dengan membuat bab dari kitab Riyâdhush-Shâlihîn, bab Haramnya Memelihara Anjing Selain Untuk Berburu, Menjaga Hewan Ternak atau Menjaga Tanaman. [4]
NAJISNYA AIR LIUR ANJING
Air liur anjing adalah najis berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِ كُم فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka tumpahkanlah, lalu cucilah 7 kali. [5]
Dalam riwayat lain:
طَهُروْرُ إِنَاَءِ أَحَدِكُمْ إَِّا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ اُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Sucinya bejana kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali, salah satunya dengan tanah” [HR Muslim no. 420 dan Ahmad 2/427]
Jumhur ulama berpendapat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan sebagian Ulama memandang levelnya adalah mughallazhah (najis yang berat). Sebab, untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.
Prof. Thabârah dalam kitab Rûh ad-Dîn al-Islâmi menyatakan, “Di antara hukum Islam bagi perlindungan badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah mu’jizat ilmiyah yang dimiliki Islam yang mendahului kedokteran modern. Kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit kepada manusia, karena anjing mengandung cacing pita yang menularkannya kepada manusia dan menjadi sebab manusia terjangkit penyakit yang berbahaya, bisa sampai mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak lepas dari cacing pita sehingga wajib menjauhkannya dari semua yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia.[6]
HUKUM JUAL BELI ANJING
Tidak diperbolehkan menjual anjing dan hasil penjualannya pun tidak halal, baik itu anjing penjaga, anjing untuk berburu atau lainnya.[7] Yang demikian itu didasarkan pada apa keumuman hadits yang diriwayatkan Abu Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
أََنَّ رَسُو لَاللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلوَانِ الْكَا هِنِ
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun. [8]
HUKUM MEMAKAN ANJING
Mayoritas Ulama mengharamkan makan daging anjing, walaupun disembelih secara syar’i, apalagi bila dibunuh dengan cara-cara yang melanggar syari’at. Ada beberapa argumen yang disampaikan mereka berkenaan dengan keharaman daging anjing ini.
1. Anjing termasuk golongan As-Siba’ (hewan buas) yang memiliki taring untuk memangsa korbannya. Padahal Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dalam beberapa hadits, di antaranya:
a). Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
كُلُّ ذِينَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامُ
Semua yang memiliki gigi taring dari hewan buas maka memakannya haram. [9]
b). Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
أََنَّ رَسُو لَاللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم نَهَى عَن أَكْلِ كُلِّ ذِيْنَابٍ مِنْ السِّبَاعِ ِ
Sesungguhnya Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan semua hewan buas yang bertaring. [10]
Berdasarkan hadits-hadits ini, maka harimau, singa, serigala, dan anjing haram dimakan.
2. Adanya larangan memanfaatkan hasil penjualan anjing, menunjukkan keharaman mengkonsumsi dagingnya, sebagaimana disampaikan dalam hadits yang berbunyi:
إَنَّ رَسُو لَاللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وضحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun. [11]
Jika harganya terlarang, maka dagingnya pun haram. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِم ثَمَنَهُ
Sesungguhnya jika Allah mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu maka (Allah) haramkan harganya atas mereka”. [12]
3. Ayat yang menerangkan pembatasan hewan yang diharamkan yaitu firman Allah Azza wa Jalla :
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah, “Tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[al-An’âm/6:145]
Adalah Makiyah, yang turun sebelum hijrah, bertujuan untuk membantah orang-orang jahiliyah yang mengharamkan al-Bahîrah, as-Sâ‘ibah , al-Washîlah dan al-Hâm. Kemudian setelah itu Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya mengharamkan banyak hal, seperti daging keledai, daging bighâl, dll. Termasuk di dalamnya semua hewan buas yang bertaring.
Ayat di atas tidak lain hanyalah memberitakan bahwa tidak ada di waktu itu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat tersebut. Kemudian baru turun setelahnya wahyu yang mengharamkan semua hewan buas yang bertaring, sehingga wajib diterima dan diamalkan.
Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh al-Fauzân merâjihkan pengharaman semua hewan buas yang bertaring, beliau menukilkan pernyataan Syaikh Muhammad al-Amien asy-Syinqiti yang menyatakan, “Semua yang sudah jelas pengharamannya dengan jalan periwayatan yang shahîh dari al-Qur ‘ân atau Sunnah, maka hukumnya haram dan ditambahkan empat yang diharamkan dalam ayat tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan al-Qur‘ân, karena sesuatu yang diharamkan di luar ayat tersebut dilarang setelahnya. Memang pada waktu turunnya ayat itu, tidak ada yang diharamkan kecuali empat tersebut Pembatasannya sudah pasti benar ada sebelum pengharaman yang lainnya. Apabila muncul pengharaman sesuatu selainnya dengan satu perintah yang baru, maka hal itu tidak menafikan pembatasan yang pertama. [13]
Kebenaran pendapat yang mengharamkan ini dikuatkan juga dengan tinjauan medis bahwa anjing memiliki cacing pita yang berbahaya bagi manusia. Ditambah lagi air liur anjing yang najis, sehingga setidaknya anjing meminum air liurnya yang najis dan mempengaruhi dagingnya.
Padahal Rasululâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita memakan daging hewan yang mengkonsumsi najis dan kotoran, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:
نَهَى رَسُوْلُاللَّه صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم عَنْ أَكْلِ الْجَلاَلَةِ وَأَلْبَانِهَا
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan hewan al-Jalâlah (pemakan najis dan kotoran) dan susunya. [14]
Dengan demikian sangat jelas sekali keharaman daging anjing. Apalagi, realitanya banyak orang yang memakan daging anjing yang tidak disembelih secara syar’i. Semoga ini semua dapat membantu menjelaskna permasalahan yang selama ini muncul di masyarakat mengenai keharaman anjing.
REFERENSI
1) Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhus-Shâlihîn, Sâlim bin Ied al-Hilâli, Dâr Ibnul-Jauzi.
2) Kitâbul-Ath’imah Syaikh Shâlih bin Fauzân, Maktabah al-Ma’ârif.
3) Shahîh Fikih Sunnah, Abi Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, Maktabah Taufîqiyah, Mesir
4) Taudhîhul-Ahkâm Syarh Bulûghul-Marâm, Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân Ali Bassâm, Maktabah al-Asadi, Mekah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim no. 2941
[2]. HR. Muslim no. 2945
[3]. HR Muslim no. 2949
[4]. lihat BahjatunNâzhirîn 3/187
[5]. HR al-Bukhâri no 418, Muslim no. 422.
[6]. Taudhîhul-Ahkam, Syaikh Ali Bassâm, 1/137
[7]. Fatawâ al-Lajnah Ad-Dâ-imah Lil Buhûts al-Ilmiyah Wal Iftâ‘, Pertanyaan ke-1 dari Fatwa no. 6554
[8]. Diriwayatkan oleh Imam, Ahmad 4/118-119, 120, al-Bukhâri 7/28 dan Muslim no. 1567.
[9]. HR Muslim 1933
[10]. HR Muslim no. 1934
[11]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri 3/43 dan Muslim 3/198 no 1567 serta Abu Dâwud 3/753 nomor 3481. at-Tirmidzi 3/439
dan an-Nasâ-i 7/309 no. 4666
[12]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/247, 293 dan 322 dan Abu Dawud no.3488
[13]. Kitâbul-Ath’imah hlm 56-60.
[14]. HR at-Tirmidzi no. 1747.
sumber - republished by
Halo Unik ! Sumber | republished by
(YM) Yes Muslim !