"Hmm…Betapa buruknya akhlak dan perbuatan orang itu. Andai dia seperti aku, tentu lebih baik adanya,” demikian kata hati yang terisi pada sosok Imam Hasan al-Bashri begitu ia melihat ada seorang pemuda duduk berduaan dengan seorang wanita. Ditambah di sampingnya terletak botol dari minuman keras.
Suasana hening dan hiruk pikuk di tepi sungai itu kembali berputar seperti biasanya. Tidak lama setelah itu Imam Hasan al-Bashri melihat ada sebuah perahu di tepi sungai yang terguling dan tenggelam. Anak muda tadi segera terjun ke sungai dan berusaha menolong penumpang awak dan penumpang perahu itu. Ia pun berhasil menyelamatkan 6 orang dari 7 orang yang berada di dalam perahu naas itu.
Anak muda itu mendekati Imam Hasan, dan berkata, “Jika engkau memang lebih mulia daripadaku, maka atas nama Allah, selamatkan seorang lagi yang belum dapat aku selamatkan.”
Imam Hasan al-Bashri tak kuasa menyelamatkan satu orang tadi, dan anak muda itu pun berkata, “Tuan, sebenarnya wanita yang duduk di sampingku ini adalah ibuku sendiri. Dan botol itu hanyalah berisi air biasa, bukan anggur atau arak.”
Imam Hasan tertegun lalu berkata, "Maafkan aku atas kesalahanku. Terperdaya dengan merasa lebih baik. Saudaraku, sebagaimana engkau telah menyelamatkan 6 orang tadi dari tenggelam, maka selamatkanlah aku dari tenggelam dalam kebanggaan dan merasa lebih baik."
Anak muda itu menjawab dengan senyum penuh penghormatan, "Mudah-mudahan Allah mengabulkan permohonan engkau."
Semenjak itu, Imam Hasan semakin dan selalu merendahkan hati bahkan ia menganggap dirinya sebagai makhluk yang tidak lebih daripada orang lain.
Sobat yang baik, berbuat baik, memegang kebenaran tentu terpuji dan harus terus diperjuangkan. Tapi merasa lebih baik, paling baik, lebih benar, paling benar, dan dengan merendahkan orang lain, memandang remeh selain Anda tentu tak pantas dipertahankan. Anda beramal, ia beramal, tapi tidak ada yang tahu siapa yang diterima dan mendapat nilai istimewa dalam pandangan-Nya. Anda mengklaim kebenaran, mereka pun datang dengan argumentasi atas kebenaran yang mereka yakini, dan tidak tahu siapa yang di sisi-Nya dinyatakan paling benar.
Karena itu, merasa baik, mengklaim melakukan yang terbaik sejatinya adalah perangkap setan. Dengannya akan terus dijerumuskan untuk memandang remeh orang lain, tak bisa mendekati tahta kebaikan Anda. Biasanya akan membawa Anda beramal untuk agar dianggap dan dikenal lebih baik dari orang lain. Iya, motivasi beramal menjadi salah jalan, salah sasaran, bukan karena Allah dipersembahkan.
Mudahnya, saat Allah membukakan pintu shalat tahajud untuk kita, janganlah lantas kita memandang rendah saudara seiman yang sedang tertidur. Jika Allah mudahkan Anda bersedekah, tak lantas menjadi harus meremehkan siapa yang membeli kebutuhan hariannya. Boleh jadi orang yang gemar tidur dan jarang puasa sunnah itu lebih dekat dengan Allah daripada kita. Sangat potensial ia lebih mulia di sisi Allah, dan kita tidak tahu amal kita diterima atau tidak.
Dalam sebuah ayat Allah mengajarkan kepada kita untuk menghindari perbuatan yang kelak merugikan kita. Yaitu merasa lebih baik, ujub, bangga diri, “Katakanlah: “Apakah akan Kami (Allah) beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, karena mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)
Agan-agan yang baik, saat ada orang yang bertanya kepada Aisyah ra, istri Rasul SAW, “Kapan seseorang dipandang hina di hadapan Allah?” Aisyah ra menjawab, “Seoranng dipandang Allah menjadi sosok yang hina saat ia merasa bahwa ia orang yang baik, orang yang shaleh, orang yang hebat. Maka ketika hal itu keluar dari hati, dari lisan, maka saat itu ia telah hina dalam pandangan Allah.”
Karena itu jagala amalan agar persembahan hanya pada Allah termuarakan. Jagalah amalan hanya karena-Nya, dan yakini selalu bahwa maha rendah dan tak berdaya diri dibanding orang lain. Jangan merasa sok suci, tapi berusahalah melakukan kebaikan dan kesucian. Belajarlah dari sosok Abu Bakar ash-Shiddiq ra, sahabat utama Nabi, surga telah dijaminkan untuknya, tapi ketika ia melihat seekor burung yang terbang ia berkata, “Indahnya kehidupanmu wahai burung, engkau terbang, dan kemudian mati. Tapi engkau tak akan dimintai pertanggungjawaban. Sementara aku yang hina ini bagaimana kelak menghadapi Hari Pembalasan?”
(
sumber)
Sumber | republished by
(YM) Yes Muslim !